Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif royalti untuk komoditas nikel sebagai bagian dari optimalisasi penerimaan negara. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari pelaku industri yang tergabung dalam Forum Industri Nikel Indonesia (FINI). Mereka meminta agar kebijakan ini dikaji ulang karena dikhawatirkan akan mengurangi daya saing industri nikel nasional di pasar global.
Alasan Industri Minta Kajian Ulang
1. Tekanan Biaya Produksi yang Tinggi
Kenaikan tarif royalti akan menambah beban biaya produksi, terutama di tengah fluktuasi harga nikel dunia. Industri khawatir hal ini akan mengurangi margin keuntungan dan menghambat investasi.
2. Berpotensi Kurangi Daya Saing Global
Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar dunia. Namun, kenaikan royalti bisa membuat harga jual nikel Indonesia lebih mahal dibandingkan pesaing seperti Filipina dan Kuba, sehingga mengurangi daya saing ekspor.
3. Dampak pada Industri Hilir
Kebijakan ini tidak hanya memengaruhi tambang nikel, tetapi juga industri pengolahan seperti smelter dan baterai kendaraan listrik. Jika biaya bahan baku naik, harga produk turunan nikel juga bisa ikut melambung.
Respons Pemerintah
Kementerian ESDM menyatakan bahwa kenaikan royalti bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor mineral. Namun, mereka juga membuka ruang dialog dengan pelaku industri untuk mempertimbangkan dampak kebijakan ini.
Harapan Industri ke Depan
FINI mendorong pemerintah untuk:
- Melakukan kajian komprehensif sebelum menetapkan kenaikan tarif.
- Mempertimbangkan insentif bagi industri yang telah membangun smelter.
- Memastikan kebijakan tidak menghambat investasi di sektor nikel dan turunannya.
Kesimpulan
Kenaikan tarif royalti nikel perlu dikaji secara hati-hati agar tidak justru melemahkan industri dalam negeri. Sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang berkeadilan tanpa mengorbankan pertumbuhan sektor pertambangan dan hilir nikel Indonesia.